![]() |
Created By : Egantari |
Langit mendung, hujan mulai membasahi jendela kamar gadis itu hingga menimbulkan embun. Dari balik jendela, mata gadis itu berkaca- kaca memandang rintik- rintik hujan di luar rumahnya, dan rintikannya itu kini membasahi pipi putihnya. Yang membuat basah bukan air hujan, namun air matanya sendiri. Ia menatap keluar rumahnya, kini rintikan itu semakin lenyap dan langit mulai cerah. Semakin lama suasana semakin hidup, tampak ramai lalu lalang orang- orang berambut pirang, berkulit putih kemerah- merahan yang hanya berbalut T-shirt mini dan tipis. Mereka adalah wisatawan- wisatawan asing yang sedang berkunjung ke desanya sekarang, Tanjung Benoa.
“Aku rindu suasana Tanjung yang dulu “ Ujar Gadis itu, Ia adalah Vivi, gadis asli kelahiran Tanjung Benoa. Tumbuh dan dibesarkan di Tanjung Benoa dan kini hatinya mulai berkecamuk, sedih, jengkel dan benci. Benci dengan dunianya sekarang, benci dengan dirinya sendiri. Tanjung, tanah kelahirannya sekarang, kini tak seperti Tanjung yang dulu ia kenal. Tanjung Benoa kini telah berubah. Hiruk pikuk penduduk Tanjung Benoa yang dulu dipadati penduduk pribuminya yang ramah dengan bahasa daerahnya yang kental, kini berubah menjadi daerah yang ramai dengan wisatawan- wisatawan mancanegara dengan puluhan kendaraannya. Udara Tanjung yang dulunya masih sejuk ketika Sang fajar mulai terbit, kini berganti polusi udara. Tanjung yang dulu ia kenal dengan dengan limpahan panen singkong, jagung dan padi yang lezat, kini menjadi sajian seafood dengan puluhan kafe dan olahraga air yang dijarah dari hasil kekayaan laut Tanjung Benoa.
“Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku harus berbuat apa? Tuhan,,,,aku tak mau ini terus berlanjut” Desahnya, tangannya yang sedari tadi menggenggam tralis jendela kamarnya kemudian melepas eratannya ketika ia mendengar suara nyaring seseorang yang ia kenal dari arah teras depan rumahnya. Langkahnya terhenti tepat di ruang tamu rumahnya ketika sosok pemilik suara tenor itu telah duduk diruang tamu. Sosok yang sangat ia kenal, ia adalah “Adi” kekasihnya.
“Kenapa kesini tak berkabar dulu lewat telfon? Kukira kamu masih sibuk di luar kota”
“Aku punya kabar baik Vi, tapi kenapa matamu sembab? Kamu tadi menangis? ” Tanya Adi, si pemilik suara Tenor itu, sementara Vivi meresponnya hanya dengan menggeleng.
“Kamu kenapa? Jika punya masalah ceritalah kepadaku.” Sambung Adi lagi.
“Aku tak bisa menjelaskannya sekarang Di, ini sulit bagiku ” Ujar Vivi kemudian.
Adi masih bingung, namun rasa penasaran mendorongnya. Adi kemudian meraih pipinya dan menatapnya dalam. Tak ada kebohongan dari mata Vivi, kini ia percaya dan harus membiarkan Vivi tenang dengan sendirinya.
“Okey, Aku mengerti. Tapi aku mempunyai berita baik, Vi. Semoga saja bagimu juga demikian.”
“Apa?” Kini, Vivi menyahut dengan tatapan hangatnya.
“Sekarang, aku telah diangkat menjadi staff manager di hotel tempatku bekerja, Vi”. Ujar Adi dengan penuh binar dimatanya. Vivi diam seribu bahasa, hatinya kini semakin bimbang tak menentu.
***
D
Inginnya angin laut malam terasa semakin menusuk kulit. Tulang- tulang dalam tubuhnya pun seakan ikut menggigil kedinginan. Tapi tetap saja ia berjalan dan berusaha tak peduli dengan terus melangkahkan kakinnya di tengah hamparan pasir putih sepanjang bibir pantai. Jiwanya rapuh. Gemerlap lampu hotel hotel sekitar pantai menyilaukan matanya. Dan ketika matanya terpaku disilaukan gemerlap lampu yang terpampang jelas namanya dari depan loby hotel, “Fatamorgana” ia merasa semakin rapuh. Terbayang sosok Adi kekasihnya, dan bayangan masa lalunya....
Ketika itu semuanya belum seperti sekarang, belum ada gemerlap hotel yang berdiri sepanjang pantai, belum ada arena olahraga air seperti Waterspot maupun banana boat di Pantai, belum ada kafe- kafe yang 24 jam nonstop selalu ramai dengan riuh wisatawan mancanegara dari 32 negara di penjuru dunia, dan ia belum melihat Adi yang ia kenal sebagai Staff Manager Hotel Fatamorgana seperti sekarang. Ia teringat ketika semuanya masih berupa ladang yang subur dan asri. Senyum sapa petani- petani ladang yang ramah, panen jagung, singkong, padi yang melimpah, udara desa yang masih sejuk dan segar dan tawa bahagia Ayahnya saat itu, saat Ayahnya masih menjadi petani ladang. Saat Ayahnya belum mengenal orang- orang berambut pirang itu. Saat Investor- investor itu belum menipunya dan keluarganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar